RESISTENSI TANAMAN & PERKEMBANGAN HAMA
Sumber: da-Lopez, Y. F., Lapinangga, N. J., & Bunga, J. A. (2020). Bahan Ajar Perlindungan Tanaman (MLK22203/2(1-1)) untuk Program Studi Manajemen Pertanian Lahan Kering. Pusat Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (P4M), Politeknik Pertanian Negeri Kupang. https://mplk.politanikoe.ac.id/index.php/perlindungan-tanaman/materi-kuliah-perlintan
RESISTENSI TANAMAN & PERKEMBANGAN HAMA
Dalam konteks interaksi tanaman dengan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT), resistensi tanaman didefinisikan sebagai kemampuan relatif suatu genotipe tanaman untuk menderita kerusakan yang lebih sedikit dibandingkan dengan genotipe tanaman lain (yang rentan) di bawah kondisi populasi OPT dan lingkungan yang sama. Pada tanaman resisten, siklus hidup dan perkembangan populasi hama akan mengalami hambatan yang signifikan. Mekanisme resistensi tanaman secara umum diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama berikut ini:
1. Antibiosis
Antibiosis merupakan mekanisme resistensi dimana tanaman menghasilkan senyawa atau kondisi fisiologis yang secara negatif mempengaruhi biologi serangga hama setelah mereka mengonsumsi jaringan atau cairan tanaman. Ketika serangga dipindahkan dari tanaman rentan ke tanaman yang memiliki sifat antibiotik, akan terlihat penyimpangan fisiologis yang nyata. Manifestasi antibiotik dapat berupa kematian larva, penurunan laju pertumbuhan dan perkembangan, peningkatan mortalitas pupa, kegagalan imago keluar dari pupa, deformitas morfologi imago, serta penurunan fekunditas dan fertilitas (War et al., 2020). Mekanisme ini dapat terjadi melalui beberapa cara:
-
Keberadaan Metabolit Sekunder Toksik: Tanaman menghasilkan senyawa seperti alkaloid, glikosida, terpenoid, dan quinon yang bersifat toksik, antinutrisi, atau penghambat pencernaan bagi serangga hama.
-
Defisiensi Nutrisi Esensial: Jaringan tanaman mungkin kekurangan unsur hara tertentu yang esensial bagi perkembangan dan kelangsungan hidup serangga.
-
Ketidakseimbangan Rasio Nutrisi: Perbandingan unsur hara yang tersedia di dalam jaringan tanaman tidak sesuai dengan kebutuhan optimal serangga.
-
Aktivitas Enzim Anti-Pencernaan: Tanaman menghasilkan enzim-enzim (misalnya inhibitor protease atau amilase) yang mengganggu proses pencernaan dan penyerapan nutrisi oleh serangga.
Contoh pemanfaatan sifat antibiotik dalam pemuliaan tanaman antara lain:
-
Kandungan gossypol pada kapas yang berkorelasi dengan ketahanan terhadap hama Helicoverpa armigera.
-
Konsentrasi senyawa 2,4-dihydroxy-7-methoxy-1,4-benzoxazin-3-one (DIMBOA) pada jagung yang berperan dalam ketahanan terhadap penggerek batang Ostrinia furnacalis (Maag et al., 2021).
-
Profil asam amino tertentu, seperti kadar asparagin yang rendah pada padi, yang dikaitkan dengan ketahanan terhadap wereng coklat.
2. Antixenosis (Non-preference)
Antixenosis adalah mekanisme resistensi dimana tanaman tidak disukai oleh serangga hama untuk proses penelusuran inang, peletakan telur (oviposition), makan (feeding), atau berlindung. Mekanisme ini bekerja sebagai penolak (repellent) atau penghambat (deterrent) melalui isyarat kimiawi, fisika, atau morfologi (Stout, 2022). Beberapa contoh manifestasinya adalah:
-
Isyarat Kimiawi: Tidak adanya atau rendahnya konsentrasi senyawa pemikat (attractants atau kairomones), atau keberadaan senyawa penolak (repellents atau allomones). Sebagai contoh, kumbang mentimun (Diabrotica undecimpunctata) lebih tertarik pada kultivar mentimun dengan kandungan kukurbitasin (senyawa attraktan dan stimulan makan) yang tinggi.
-
Sifat Fisika dan Morfologi: Struktur permukaan tanaman yang tidak disukai serangga, seperti keberadaan trikoma (pubescence) yang rapat dan panjang pada daun kapas yang menghalangi aktivis pengisapan oleh wereng daun Empoasca spp., atau kulit batang padi yang keras dan tebal yang menyulitkan penetrasi oleh penggerek padi kuning (Scirpophaga incertulas).
3. Toleransi
Toleransi merupakan mekanisme resistensi yang berbeda dari antibiotik dan antixenosis. Tanaman yang toleran tetap diserang oleh hama, namun memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menahan (endure) atau memulihkan (recover) diri dari kerusakan yang ditimbulkan, sehingga hasil panen yang diperoleh tidak berbeda signifikan dengan tanaman yang tidak terserang. Sifat ini merefleksikan respons fisiologis dan kemampuan kompensasi tanaman (Peterson et al., 2017). Mekanisme toleransi dapat berupa:
-
Kemampuan Regenerasi yang Tinggi: Tanaman mampu memproduksi tunas atau daun baru dengan cepat untuk menggantikan jaringan yang rusak.
-
Pertumbuhan yang Vigor dan Cepat: Laju pertumbuhan tanaman yang tinggi mengimbangi kehilangan biomassa akibat serangan hama.
-
Kemampuan Kompensasi: Tanaman mampu mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien ke bagian tanaman yang tidak rusak, misalnya dengan meningkatkan pengisian bulir pada malai yang tersisa.
Dalam strategi Pengendalian Hama Terpadu (PHT), pemanfaatan ketiga mekanisme resistensi ini, baik secara sendiri-sendiri maupun terpadu, merupakan pilar utama untuk menekan populasi hama dan meminimalkan kerugian hasil secara berkelanjutan.
Daftar Referensi
- Maag, D., Erb, M., & Köllner, T. G. (2021). Defensive weapons and defense signals in plants: The role of benzoxazinoids in indirect defense. Journal of Chemical Ecology, 47(1), 1-17.
- Peterson, R. K. D., Varella, A. C., & Higley, L. G. (2017). Tolerance: The forgotten child of plant resistance. PeerJ, 5, e3934.
- Stout, M. J. (2022). Plant-herbivore interactions: An overview of mechanisms and their roles in plant resistance. Annual Review of Entomology, 67, 1-20.
- War, A. R., Taggar, G. K., War, M. Y., & Hussain, B. (2020). Impact of climate change on insect pests, plant chemical ecology, and tritrophic interactions. Sustainability, 12(18), 7703.








