Selamat Datang di Halaman PERLINTAN - Perlindungan Tanaman - Website Jurusan MPLKSerangga Hama PertanianMateri Praktek Perlindungan TanamanParasitoid Hama TanamanOPT Tanaman PertanianPredator Hama TanamanMateri Kuliah Perlindungan TanamanMusuh Alami HamaPerlindungan Tanaman adalah usaha untuk melin­dungi tanaman dari ancaman atau gangguan yang dapat merusak, merugikan, atau mengganggu proses hidupnya yang normal, sejak pra-tanam sampai pasca tanam (Djafaruddin, 1996)
Banner UC IPM
Banner Biological Control
Banner Dirjen Pangan
Banner Diren Perkebunan
Banner Dirjen Hortikultura
         

Keseimbangan Ekosistem dan Munculny Hama

Sumber:  da-Lopez, Y. F., Lapinangga, N. J., & Bunga, J. A. (2020). Bahan Ajar Perlindungan Tanaman (MLK22203/2(1-1)) untuk Program Studi Manajemen Pertanian Lahan Kering. Pusat Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (P4M), Politeknik Pertanian Negeri Kupang.  https://mplk.politanikoe.ac.id/index.php/perlindungan-tanaman/materi-kuliah-perlintan

Agroekosistem merupakan suatu sistem yang tersusun atas komponen biotik (tumbuhan, hewan, mikroorganisme) dan abiotik (tanah, iklim, air) yang saling berinteraksi secara dinamis. Dalam kondisi stabil, interaksi ini membentuk suatu keseimbangan dimana setiap komponen menjalankan fungsinya secara teratur, termasuk pengendalian populasi organisme secara alami. Perubahan terhadap keseimbangan ini, baik secara alami maupun akibat intervensi antropogenik, dapat menyebabkan ketidakstabilan yang memicu peningkatan populasi organisme tertentu hingga mencapai status hama (Triharso, 1996).

Populasi setiap organisme di alam, termasuk serangga, selalu mengalami fluktuasi yang dipengaruhi oleh faktor pembatas lingkungan. Ledakan populasi hama (pest outbreak) terjadi ketika terjadi ketidakseimbangan antara daya reproduksi hama dengan tekanan dari faktor pembatas alaminya. Kondisi ini mengakibatkan lingkungan menjadi tidak stabil dan tanaman mengalami serangan yang merugikan secara ekonomi.

Faktor-Faktor Pemicu Ledakan Hama

  1. Pertanaman Monokultur
    Sistem budidaya monokultur dalam luasan yang besar mengurangi keanekaragaman hayati dan menyederhanakan struktur agroekosistem. Lingkungan yang disederhanakan ini seringkali menghilangkan musuh alami dan sumber daya alternatif, sehingga memberikan kesempatan bagi spesies herbivora tertentu, yang memiliki adaptasi spesifik, untuk berkembang biak tanpa hambatan yang signifikan. Kondisi ini menciptakan bottom-up regulation yang kuat dimana ketersediaan inang yang melimpah dan homogen menjadi pendorong utama ledakan hama (Gurr et al., 2017).

  2. Pola Tanam yang Tidak Beragam
    Penanaman satu jenis tanaman secara terus-menerus dalam beberapa musim atau tahun (continuous cropping) menyediakan sumber pangan yang konsisten dan berkesinambungan bagi hama spesifik. Hal ini memungkinkan hama untuk terus berkembang biak tanpa mengalami periode kelaparan, sehingga terjadi akumulasi populasi dari waktu ke waktu.

  3. Pemupukan Nitrogen yang Tidak Berimbang
    Aplikasi pupuk nitrogen (N) yang berlebihan dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan biokimia pada tanaman. Tanaman menjadi lebih sukulen, dengan konsentrasi senyawa nitrogen seperti asam amino bebas yang lebih tinggi, serta seringkali menurunkan konsentrasi senyawa pertahanan sekunder. Perubahan ini membuat tanaman lebih menarik dan bergizi bagi serangga herbivora tertentu, sehingga dapat merangsang peningkatan fekunditas dan mempercepat perkembangan hama (Chen et al., 2020).

  4. Introduksi Tanaman Baru
    Masuknya suatu jenis tanaman baru ke suatu daerah dapat mengubah dinamika interaksi dalam agroekosistem. Tanaman introduksi tersebut mungkin lebih rentan terhadap hama asli setempat (native pests) karena tidak memiliki mekanisme pertahanan yang memadai, atau justru menjadi inang yang lebih baik yang mendorong peningkatan populasi hama tertentu.

  5. Introduksi Hama Baru (Invasif)
    Masuknya organisme asing ke suatu wilayah baru (invasive species) seringkali menjadi pemicu ledakan hama yang dramatis. Di wilayah barunya, organisme ini biasanya terlepas dari tekanan musuh alami (predator, parasitoid, patogen) yang mengendalikan populasinya di daerah asal. Tanpa adanya top-down regulation ini, populasi organisme invasif dapat meningkat secara eksponensial dan menyebabkan kerusakan ekologis dan ekonomi yang serius, seperti yang tercatat dalam sejarah kasus kutu putih Icerya purchasi di California.

  6. Pemecahan Ketahanan Varietas Tanaman
    Penanaman varietas tahan hama (VTH) secara luas dan terus-menerus menciptakan tekanan seleksi yang kuat pada populasi hama. Seleksi ini dapat mendorong munculnya dan terpilihnya biotip hama baru yang mampu mengatasi mekanisme ketahanan pada varietas tersebut. Fenomena ini, yang dikenal sebagai "boom-and-bust cycle", mengharuskan pengembangan VTH baru secara berkelanjutan (Peterson et al., 2018).

  7. Ketidaksesuaian Waktu Tanam
    Kesinkronisan antara fase fenologi tanaman yang rentan dengan siklus hidup atau stadia merusak dari hama merupakan faktor kunci dalam menentukan tingkat kerusakan. Pengaturan waktu tanam (crop calendar adjustment) adalah taktik budaya yang penting untuk memutus siklus tersebut, dengan cara menghindari masa kritis pertumbuhan tanaman bertepatan dengan puncak populasi hama.

  8. Penggunaan Pestisida yang Tidak Bijaksana
    Aplikasi pestisida yang tidak tepat, baik jenis, dosis, waktu, maupun frekuensinya, merupakan salah satu pemicu utama ketidakstabilan agroekosistem dan ledakan hama. Dampak utamanya terwujud dalam dua fenomena:

    • Resistensi: Merupakan proses evolusioner dimana individu-individu dalam populasi hama yang memiliki gen toleran terhadap suatu pestisida dapat bertahan hidup dan meneruskan gen tersebut kepada keturunannya. Faktor genetik (keberadaan alel resisten), tekanan seleksi dari penggunaan pestisida yang berulang dan spektrum sempit, serta sifat biologi hama (seperti siklus hidup pendek dan fekunditas tinggi) sangat mempengaruhi laju perkembangan resistensi (Brevik et al., 2018; Tabashnik & Carrière, 2020).

    • Resurgensi: Terjadi ketika aplikasi pestisida justru menyebabkan peningkatan populasi hama sasaran melebihi level sebelum penyemprotan. Hal ini terutama disebabkan oleh terbunuhnya musuh alami hama (predator dan parasitoid) oleh pestisida berspektrum luas, yang mengakibatkan hilangnya kendali biologis alami. Hama yang selamat dari aplikasi pestisida kemudian bereproduksi tanpa hambatan, leading to a rapid rebound of the population (Furlong et al., 2021).

Mekanisme Terjadinya Resistensi dan Resurgensi Hama

A. Faktor-Faktor Penentu Resistensi Hama terhadap Pestisida

Resistensi hama terhadap pestisida didefinisikan sebagai penurunan kepekaan (sensitivitas) suatu populasi hama akibat dari perubahan frekuensi gen (genetik) setelah mengalami seleksi secara berulang oleh suatu senyawa pestisida. Perkembangan resistensi merupakan suatu proses evolusioner yang dipengaruhi oleh interaksi kompleks dari beberapa faktor utama:

  1. Faktor Genetik
    Dasar fundamental resistensi terletak pada keberadaan alel-alel gen resisten dalam gene pool populasi hama. Alel-alel ini dapat mengkodekan berbagai mekanisme fisiologis, seperti perubahan pada target-site (misalnya mutasi pada saluran sodium untuk insektisida piretroid), peningkatan aktivitas enzim detoksifikasi (misalnya monooxygenase, esterase, glutathione S-transferase), atau penurunan penetrasi kutikula. Frekuensi awal alel resisten dalam populasi, serta mode of inheritance (resesif atau dominan), sangat menentukan kecepatan dimana resistensi akan teramati di lapangan. Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi dan frekuensi awal alel resisten yang lebih tinggi cenderung mengembangkan resistensi lebih cepat (Brevik et al., 2018).

  2. Faktor Operasional (Tekanan Seleksi)
    Tekanan seleksi (selection pressure) dari praktik aplikasi pestisida merupakan pendorong utama seleksi genotip resisten. Faktor operasional yang mempercepat resistensi meliputi:

    • Penggunaan Berulang dan Frekuensi Tinggi: Aplikasi satu jenis pestisida (atau kelompok dengan mode of action yang sama) secara terus-menerus memberikan keuntungan selektif yang konsisten bagi individu-individu yang membawa gen resisten.

    • Dosis Sub-Lethal: Penggunaan dosis yang tidak mematikan semua individu rentan justru memungkinkan individu yang agak toleran untuk bertahan hidup dan bereproduksi, secara bertahap menggeser populasi ke arah resistensi.

    • Spektrum Kerja dan Formulasi: Pestisida dengan persistensi yang lama dan spektrum kerja yang sempit terhadap satu mode of action dapat menciptakan tekanan seleksi yang lebih terfokus dan intensif (Sparks et al., 2021).

  3. Faktor Biologi Hama
    Karakteristik biologi dan ekologi dari hama sasaran sangat mempengaruhi laju evolusi resistensi. Ciri-ciri yang mempercepat resistensi antara lain:

    • Siklus Hidup Pendek dan Tingkat Reproduksi Tinggi: Memungkinkan pergantian generasi yang cepat, sehingga alel resisten dapat terakumulasi lebih cepat dalam populasi.

    • Ukuran Populasi Besar: Menyediakan gene pool yang lebih besar dan kemungkinan variasi genetik yang lebih tinggi, termasuk kemunculan mutasi baru.

    • Mobilitas dan Tingkat Isolasi: Aliran gen (gene flow) dari populasi lain dapat memperkenalkan alel resisten baru, sementara populasi yang terisolasi dapat mengalami seleksi yang lebih cepat (Tabashnik & Carrière, 2017).

B. Fenomena Resurgensi Hama Pasca Aplikasi Pestisida

Resurgensi hama merupakan fenomena ekologis yang berbeda dari resistensi, yang ditandai dengan peningkatan populasi hama sasaran hingga melampaui level sebelum aplikasi pestisida. Mekanisme utama di balik resurgensi adalah terganggunya keseimbangan agroekosistem, khususnya melalui:

  • Penekanan Populasi Musuh Alami: Pestisida berspektrum luas (broad-spectrum) umumnya tidak selektif, sehingga tidak hanya membunuh hama sasaran tetapi juga memusnahkan predator dan parasitoid (musuh alami) yang merupakan agen pengendali biologis utama. Kematian musuh alami ini menyebabkan kolapsnya regulasi top-down dalam jaring-jaring makanan.

  • Pelepasan dari Kompetisi dan Predasi: Individu hama yang selamat dari aplikasi pestisida (karena berada di tempat tersembunyi, stadia yang tidak terjangkau, atau memiliki toleransi fisiologis dasar) kemudian menemukan lingkungan yang hampir bebas dari pesaing dan pemangsa. Dalam kondisi ini, mereka dapat bereproduksi dengan laju yang maksimal (mendekati biotic potential), menyebabkan populasi meledak dalam waktu singkat.

  • Peningkatan Kualitas Tanaman: Beberapa pestisida dapat secara tidak langsung merangsang pertumbuhan tanaman atau menghilangkan herbivor kompetitor, yang justru meningkatkan ketersediaan dan kualitas makanan bagi hama yang tersisa, sehingga memperparah ledakan populasi (Furlong et al., 2021).

Oleh karena itu, strategi pengelolaan resistensi (Insecticide Resistance Management/IRM) dan pencegahan resurgensi harus terintegrasi, dengan fokus pada pengurangan ketergantungan pada pestisida kimia, rotasi pestisida dengan mode of action berbeda, penggunaan pestisida selektif, serta pengintegrasian dengan pengendalian biologis dan budaya untuk mempertahankan stabilitas agroekosistem.


Daftar Referensi

  • Brevik, K., Schoville, S. D., Mota-Sanchez, D., & Chen, Y. H. (2018). Pesticide durability and the evolution of resistance: A novel application of population genetics. Evolutionary Applications, 11(10), 1937 1947. 
  • Chen, Y., Olson, D. M., & Ruberson, J. R. (2020). Effects of nitrogen fertilization on tritrophic interactions. Arthropod-Plant Interactions, 14(1), 1-12. 
  • Furlong, M. J., Wright, D. J., & Dosdall, L. M. (2021). Management of insect pests: Prospects and challenges for pesticide resistance. In Integrated Pest Management (pp. 1-34). Academic Press. 
  • Gurr, G. M., Wratten, S. D., Landis, D. A., & You, M. (2017). Habitat management to suppress pest populations: Progress and prospects. Annual Review of Entomology, 62, 91-109. 
  • Peterson, J. A., Ode, P. J., Oliveira-Hofman, C., & Harwood, J. D. (2018). Integration of host plant resistance and biological control: A new paradigm for insect pest management. Biological Control, 117, 1-2.
  • Sparks, T. C., Crossthwaite, A. J., Nauen, R., Banba, S., Cordova, D., Earley, F., ... & Wessels, F. J. (2021). Insecticides, biologics and nematicides: Updates to IRAC's mode of action classification - a tool for resistance management. Pesticide Biochemistry and Physiology, 167, 104587. 
  • Tabashnik, B. E., & Carrière, Y. (2017). Surge in insect resistance to transgenic crops and prospects for sustainability. Nature Biotechnology, 35(10), 926-935. 
  • Tabashnik, B. E., & Carrière, Y. (2020). Evaluating cross-resistance between toxins of Bacillus thuringiensis in transgenic crops. Current Opinion in Insect Science, 39, 109-115. 
  • Triharso. (1996). Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press.
Jurusan Manajemen Pertanian Lahan Kering © 2025 Politeknik Pertanian Negeri Kupang - Alamat: Jl. Prof. Dr. Herman Yohanes, Lasiana, Kelapa Lima, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Telepon: +62380881600 Fax: +62380881601 Email: ppnk@politanikoe.ac.id. - We learn, practice, and be rich - Kami belajar, berlatih, dan menjadi sejahtera - Meup onle ate, mua onle Usif - Designed By JoomShaper