Keseimbangan Ekosistem dan Munculny Hama
Ekosistem atau agroekosistem tersusun atas faktor biotik dan abiotik yang berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur. Setidaknya, setiap faktor mempunyai fungsi tersendiri. Kesimbangan ekosistem akan terjadi bila setiap faktor melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik. Perubahan dapat terjadi secara alamiah dan bisa juga terjadi karena adanya campur tangan manusia.
Di alam, selalu terjadi hubungan timbal balik antara populasi suatu makluk hidup dengan lingkungan yang ditempatinya. Dengan pula halnya dengan populasi hama. Jumlah populasi hama dapat naik atau turun bergantung pada besar kecilnya pengaruh faktor lingkungan. Adanya ketidakseimbangan antara populasi hama dengan faktor-faktor lingkungan menyebabkan keadaan lingkungan menjadi tidak stabil dan tanaman akan mendapat serangan hama yang merugikan, sehingga dikenal dengan istilah letusan hama.
Letusan hama terjadi karena beberapa penyebab, diantaranya adalah:
- Pertanaman monokultur. Bertanam satu jenis tanaman di lahan yang luas berarti berkurangnya keanekaragaman, yang mengakibatkan keadaan ekosistem menjadi tidak stabil. Keadaan tersebut memberikan kesempatan kepada populasi hama tertentu terus meningkat, sehingga dapat menimbulkan peletusan hama.
- Bertanam terus-menerus. Bertanam satu jenis tanaman dalam beberapa musim atau beberapa tahun dapat menyebabkan tersedianya makanan bagi hama sepanjang waktu, sehingga hama terus berkembang biak dan populasinya meningkat.
- Penggunaan pupuk yang berlebihan. Penggunaan pupuk Nitrogen yang berlebihan dapat mengakibatkan tanaman tumbuh lebih subur, sehingga dapat menjadi makanan yang menarik bagi suatu hama dan merangsang peningkatan populasinya.
- Pemasukan jenis tanaman baru. Masuknya suatu jenis tanaman baru di suatu daerah dapat merangsang perkembangan suatu jenis hama di daerah tersebut. Tanaman yang baru ini dapat menjadi tanaman yang lebih baik bagi suatu jenis hama, misalnya lamtorogung dan kutu loncat, atau lebih peka terhadap serangan hama asli di ekosistem setempat.
- Pemasukan jenis hama baru. Masuknya suatu jenis binatang atau orgnisme baru di suatu tempat yang baru dapat menjadi hama penting di tempat yang baru didatanginya. Hal ini disebabkan di tempatnya yang baru, binatang atau organisme tersebut tidak ada musuh-musuh alaminya, yang secara alami mengontrol populasinya. Sebagai contoh adalah kasus di California, Amerika Serikat. Kutu putih Icerya purchasi yang berasal dari benua Australia, pada tahun 1868 terbawa oleh para penggemar tanaman hias (Cassia, yang merupakan tanaman inang untuk kutu putih tersebut) ke California. Di tempa asalnya, Australia, kutu putih ini tidak menimbulkan masalah terhadap inangnya, karena musuh alami yang menjadi predator dan parasitnya terdapat di sana. Namun, setelah kutu putih ini berada di California, ia menjadi masalah bagi tanaman jeruk yang merupakan tanaman inangnya yang lain. Akibatnya, pada tahun 1888, kutu putih ini menimbulkan kerugian yang hebat terhadap tanaman jeruk di California. Setelah diimpor musuh-musuh alaminya dari negeri asalnya, Australia, yaitu predator Rodolia cardinalis dan parasit Cryptochaetum icerya, populasi kutu putih ini dapat ditekan.
- Varietas unggul tahan hama. Menanam varietas tahan unggul di suatu daerah selama periode tertentu, dapat mendorong terjadinya biotip baru dari hama tersebut, yang mampu merusak varietas unggul tersebut yang sebelumnya tahan terhadap hama tersebut. Kasus ini pernah terjadi pada wereng coklat Nilaparvata lugens dengan varietas pada yang tahan hama tersebut.
- Waktu bertanam. Perkembangan hama, di samping dipengaruhi oleh faktor makanan dan faktor biotik, juga dipengaruhi oleh faktor fisik seperti cuaca dan iklim. Iklim berpengaruh pula terhadap pertumbuhan tanaman.
Pada saat stadia merusak dari hama tiba dan saat itu pula tersedia fase pertumbuhan tanaman yang sesuai untuk makanannya, terjadilah serangan hama. Oleh karena itu, waktu bertanam perlu diatur agar waktu stadia merusak dari hama muncul tidak bersamaan dengan fase pertumbuhan tanaman yang dibituhkan hama. - Penggunaan pestisida yang tidak benar dan bijaksana. Penggunaan pestisida yang tidak benar dan bijaksana dapat mendorong terjadinya letusan hama. Hal ini disebabkan karena terjadinya resistensi dan resurgensi hama.
Terjadinya resitensi hama (hama menjadi tidak peka) terhadap pestisida dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
- Faktor genetik, yaitu adanya gen resisten pada populasi hama. Semakin banyak individu hama yang membawa gen resisten, semakin cepat populasi hama tersebut menjadi tahan (resisten) terhadap pestisida tertentu.
- Faktor operasional yang bertindak sebagai tekanan seleksi (selection pressure). Semakin besar tekanan selesksi, semakin cepat resistensi terjadi. Penggunaan satu produk insektisida secara terus-menerus dengan frekuensi tinggi merupakan suatu tekanan seleksi yang sangat besar, sehingga dapat mempercepat terjadinya resistensi. Jenis, dosis, dan formulasi insektisida juga dapat mempengaruhi terjadinya penurunan kepekaan atau peningkatan resistensi hama.
- Faktor biologi hama, misalnya dinamika populasi hama, penyebaran, kecepatan berkembang biak, tingkat isolasi, sangat mempengaruhi kecepatan proses terjadinya resistensi.
- Cara kerja (mode of action) pestisida. Terjadinyan resurgensi pada hama terjadi karena terbunuhnya musuh alami oleh karena penggunaan pestisida yang umumnya berspekturm lebar dan tidak selektif. Setelah diperlakukannya pestisida, populasi hama sasaran menurun, akan tetapi karena tebunuhnya musah alami maka hama sasaran yang luput atau selamat akan bebas atau tidak terhalangi untuk meningkatkan populasinya kembali jauh melebihi jenjang populasi sebelum diperlakukan pestisida, kurang berfungsinya pengendali-pengendali alaminya.
REFERENSI
- Natawigena, H., 1993. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Trigenda Karya. Bandung. Hal: 13, 33-37, 98, 147.
- Rukmana, R., 1997. Hama Tanaman dan Teknik Pengendaliannya. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 14-17
- Triharso, 1996. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal: 2-11, 50-51.
Untung, K. 1984. Pengantar Analisis Ekonomi Pengendalian Hama Terpadu. Andi Offset. Yogyakarta. Hal: 7-16.